Propaganda Rezim Orde Baru mengenai Intervensi Militer dalam Politik Pemerintahan

Rabu, 21 September 2011




Militer dalam bahasa yaitu “Military” dapat disebut pula “the soldiers”; “the army”; “the army forces”  yang berarti prajurit atau tentara. Menurut pengamat hubungan sipil-militer dalam negri, seperti Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohardiprojo mendefinisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan sipil sendiri berarti “civilian” yang berarti seseorang yang bekerja diluar dari angkatan bersenjata, seperti lembaga pemerintah, masyarakat umum, negarawan dan politisi.

Hubungan antara sipil dan militer tergantung dari sistem politik yang dianut. Contohnya di negara-negara maju yang mayoritas menggunakan sistem demokrasi liberal dan mengutamakan kebebasan berpolitik, maka yang dianut adalah pola hubungan supremasi sipil yaitu sipil memiliki pola yang luas di dalam politik dan militer hanya merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat untuk keamanan negara. Sebaliknya negara bersistem otoriter biasanya menganut hubungan pola supremasi militer karena militer memegang peranan penting dalam segala bidang kehidupan, hak-hak sipil dikekang dan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam pemerintahan. Menurut Samuel Huntington hubungan sipil-militer ditunjukkan melalui dua cara,yaitu :

    Subjective civilian control (pengendalian sipil subyektif) yaitu perluasan kekuasaan sipil terhadap militer. Hak-hak sipil diperbesar dan ruang gerak militer terbatas. Pengendalian ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan antara militer dan sipil.
    Objetive civilian control (pengendalian sipil objektif) yaitu professionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka, subordinasi positif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat tugas tentang kebijakan luar negri dan militer, pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer. Dari tindakan diatas, intervensi militer terhadap sipil dapat diminimalisasi begitu juga sebaliknya intervensi sipil terhadap militer dapat diminimalisasikan.

Sejak keluarnya Super Semar, Soeharto dimandatkan untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Saat itu pula militer berperan penting dalam memegang tatanan kekuasaan politik Indonesia. Pada masa rezim orde baru, militer mengintervensi dari seluruh aspek politik dalam pemerintahan. Politik Soeharto yang menerapkan demokrasi pancasila (1965-1998) dan kebijakan sentralisasi memberikan peluang besar untuk menduduki kekuasaan politik. Oleh karena itu, militer pada masa itu dijadikan kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik yang disebut pretorian. Militer pretorian memiliki andil dalam politik sangat besar bahkan lebih dominan dalam mengatur kekuasaan pemerintah dibandingkan sipil sehingga kekuasaan sipil sangat terbatas. Intervensi politik dalam pemerintahan pun tinggi dan permanen sampai diakhiri oleh revolusi Mei 1998 yaitu jatuhnya rezim orde baru. Masa rezim orde baru juga memiliki pola hubungan pola supremasi militer dimana militer memegang peranan penting dalam kehidupan.

Bentuk-bentuk intervensi militer terhadap politik pada masa orde baru misalnya  tradisi intervensi militer yang diwarisi oleh masa demokrasi terpimpin dimana militer mempunyai hak yang sama dalam pemilu. Intervensi militer  berlanjut pada demokrasi pancasila yang didirikan “soeharto” bahkan militer menempati jatah kursi 100 buah dalam parlemen. Dengan kekuasaan tersebut, militer dapat dengan bebas melakukan apa saja bahkan dengan penyiksaan dan pembunuhan massal  peristiwa berdarah tanjung priok. Sebagian bukti dari kekuasaan militer yaitu rekaman dari hasil wawancara Tim Peneliti PPW LIPI dengan tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan solo Juli 1998: “pada saat itu setiap penduduk yang tidak memilih Golkar atau dicurigai tidak akan mencoblos Golkar dengan mudah dicap sebagai PKI. Kalau sudah demikian, aparat keamanan bebas melakukan apa saja, dari penyiksaan sampai penghilangan nyawa manusia. Korban kekerasan pemilu pada waktu itu tidak terhitung jumlahnya”.

Selain itu, bentuk lain dari intervensi militer adalah adanya dwifungsi ABRI dimana ABRI berfungsi tidak hanya dalam segi militer tetapi juga memasuki urusan non-militer. Penyebab keberadaan dwifungsi ABRI juga tak lepas dari peran ABRI dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.  Doktrin dwi fungsi ABRI ini dirumuskan pada saat seminar TNI AD ke I. Dalam seminar tersebut dapat dijelaskan mengenai TNI-AD befungsi sebagai suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer.Dwifungsi ini juga ditegaskan dalam TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil dibentuk kabinet Ampera, dengan dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto yang didalamnya terdapat pula perwira-perwira ABRI. Hal ini menegaskan pula bahwa militer terjun ke dalam dunia politik. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai; Kekuatan Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional.Indikasi ini bisa muncul karena disesuaikan dengan teori Huntington  dan Finer bahwa penyebab paling penting dari intervensi militer dalam politik adalah sistem kebudayaan politik, struktur politik serta institusionalnya.Institusi pada pemerintahan masa orde baru sangat mendukung adanya supremasi militer sehingga kekuasaan militer lebih dominan terhadap sipil.

Pemerintah pada zaman orde baru juga mudah untuk melakukan propaganda dalam pemerintahan. Propaganda adalah menejemen dari tingkah laku kolektif dengan cara manipulasi sejumlah simbol signifikan. Propaganda yang dibuat oleh soeharto dengan menunjukkan kewibawaan tinggi sebagai kepala pemerintahan serta beralasan untuk kestabilitasan perekonomian negara yang harus diperbaiki dari pelaksanaan demokrasi terpimpin. Namun, di balik semua itu Soeharto menimbun hutang luar negri dan memberikan peluang bagi militer untuk memegang beberapa perusahaan sehingga dengan bebas menguasai pemerintahan.

Ketentraman dan kestabilan perekonomian yang secara jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari hanyalah manipulasi Soeharto dalam memainkan politik, elit politik serta militer berjaya dalam pemerintahan Soeharto sedangkan rakyat dibutakan dengan ketentraman yang semu. Korban-korban dari sistem pemerintahan Soeharto adalah penentang Soeharto yang melihat manipulasi Soeharto yang mengatasnamakan stabilitas ekonomi, penjagaan keamanan sebagai penyalahgunaan otoritas kekuasaan.

Propaganda lain yang dilakukan pemerintah dalam masa orde baru seperti trilogi pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila, institusi-institusi yang memndukung propaganda serta pemutaran film-film kemenangan tentara. Trilogi pembangunan yang berisi tentang stabilitas nasional, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi dimanipulasi  dengan tujuan dapat dilakukan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan setelah adanya pertumbuhan ekonomi (kue nasional) dilakukan suatu pemerataan kesejahteraan nasional.

Pemasyarakatan pancasila  berarti segala dasar visi dan tujuan organisasi berdasarkan pancasila. Contoh sederhananya adalah program P4 (Pedoman Pengalaman Penghayatan Pancasila), setiap orang harus mengetahui dan mengamalkan isi dari P4 tersebut. Padahal itu adalah salah satu bentuk keotoriteran masa Orde Baru.

Pembunuhan massal dan penghilangan manusia  saat itu sering terjadi, bagi masyarakat yang menentang berdirinya rezim ini maka akan ditindaklanjuti oleh aparat pemerintahan. Seperti Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 dimana pembantaian dan pembunuhan massal dilakukan oleh tentara militer karena menentang asaz pancasila. Awal dari pemicu kasus ini sebenarnya adalah penghinaan terhadap mushola As-Sa’adah oleh Sersan Satu Hermanu. Bahkan, polisi pun dilarang keluar dari markasnya oleh tentara. Tentara sangat berperan dan mendominasi kekuasaan di  era-orde baru.

Dari contoh kasus diatas dapat membuktikan bahwa militer dapat bertindak  menyelewengkan kekuasaan dan masuk ke dalam tatanan politik dan sipil. Sampai akhirnya mahasiswa turun ke jalan untuk menurunkan Soeharto dari kursi jabatannya. Peran mahasiswa dalam menggalakan reformasi dalam pemerintahan otoriter menuju demokrasi sangat besar.

Berbagai pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan karena kesewenang-wenangan militer masih membekas di hati masyarakat hingga sekarang. Nama militer masih terdengar karena citra tindak kekerasan dan kekejamannya. Namun setelah reformasi  1998 berlangsung, terjadi Reposisi yang dimaksud adalah pemisahan secara menyeluruh antara kewenangan TNI dan Polri sehingga secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Masa orde baru memberi pelajaran untuk masyarakat dan khususnya mahasiswa sebagai generasi pembangun bangsa untuk memperbaiki sistem politik yang ada di Indonesia untuk tidak sewenang-wenang dalam memegang kursi pemerintahan. Pemegang kursi pemerintahan seharusnya adalah orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai bangsa Indonesia dan berorientasi untuk memajukan bangsa Indonesia.

Supremasi militer yang terjadi pada masa Orde Baru memberi pelajaran juga kepada militer untuk menjadi militer professional dimana militer berkewajiban untuk melindungi pertahanan dan keamanan bangsa dan mengetahui serta menjalankan tugas yang diberikan dari negara.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...