Demiliterisme Masyarakat Sipil

Rabu, 21 September 2011


Kekerasan adalah dukun beranak bagi
setiap masyarakat lama yang tengah
mengandung masyarakat baru.
(Karl Marx).

Risalah pendek ini hendak dibawa sampai pada dua tujuan. Pertama, mengislustrasikan bekerjanya militerisasi dan militerisme di Indonesia. Kedua, menawarkan agenda strategi dan aksi demiliterisme (menghancurkan militerisme) dalam konteks konsolidasi demokrasi di Indonesia. Kedua tujuan itu disandarkan pada asumsi bahwa militerisasi dan militerisme merupakan dua hal yang berbeda meski keduanya saling berhubungan. Militerisasi lewat Dwifungsi adalah "monster" bagi masyarakat politik, yang merusak kompetisi, partisipasi dan liberalisasi. Militerisme adalah "kanker" bagi masyarakat sipil yang mengancam democratic civility.
Militerisasi dan Militerisme
Militerisme sudah lama populer dalam wacana publik, tetapi ia dipahami secara keliru. Militerisme dan militerisasi selalu dicampuradukkan, yang dipahami sebagai bentuk interbensi dan dominasi militer dalam kehidupan sosial-politik melalui Dwifungsi. Tulisan ini punya pehamanan yang berbeda dengan pemahaman umum selama ini. Pertama, militerisme sebagai sebuah gejala ideologis tidak selalu menghadirkan keterlibatan militer ke ruang masyarakat sipil. Saya memahami militerisme dalam konteks relasi antara militer, masyarakat dan perang. Militer dibentuk tentu saja disiapkan sebagai instrumen perang (menggunakan sarana-sarana kekerasan) untuk mempertahakan negara. Tetapi ada masalah besar ketika masyarakat dimobilisasi dalam arena perang, atau setidak-tidaknya masyarakat dirancang dalam kondisi darurat untuk "persiapan perang" (war preparation).
Kedua, militerisasi dan militerisme merupakan dua hal yang berbeda. Andrew Ross (1987), misalnya, membedakan secara tegas antara militerisasi dan militerisme, namun militerisasi merupakan sebuah proses yang mengarah ke militerisme. Titik temu antara militerisasi dan militerisme terletak pada aspek pemujaan perang atau persiapan perang, artinya berbagai aktivitas sosial dalam masyarakat mengarah atau dirancang untuk mengarah ke perang. Persiapan perang itu dirancang sebagai perangkat pertahanan, pencegahan dan keamanan, entah oleh negara ataupun oleh kelompok-kelompok sosial. Musuh yang diperangi itu tidak semata-mata berasal dari luar, tetapi juga berasal dari dalam. Secara tegas, Martin Shaw (1993), merumuskan militerisme sebagai pengaruh organisasi, nilai-nilai, ide-ide dan perilaku militer ke dalam struktur sosial, sebagai akibat dari militerisasi.
Namun, militerisasi dan militerisme merupakan mata rantai yang kompleks. Baik militerisasi dan militerisme mempunyai berbagai bentuk seperti saya tampilkan dalam tabel 1 di bawah.
Tabel 1
Tipologi Militerisasi dan Militerisme
Item
Tipe I
Tipe II
Bentuk Militerisasi build-up Militerisasi build-in
Indikator Bertambahnya personil militer, anggaran militer, teknologi senjata, ekspor-impor senjata. (1) Intervensi militer dalam politik; dan (2) internalisasi nilai, ide, organisasi, perilaku militer dalam masyarakat (dengan atau tanpa kehadiran militer)
Level Negara dan elite Masyarakat dan massa
Bentuk militerisme Militerisme elite dan struktur kekuasaan Militerisme masyarakat (societal militarism) atau militerisme massa (popular militarism)
Level gejala Sosiologis Ideologis
Akar Sosial Masyarakat kapitalis-industrial; militer sebagai kekuatan hankam sangat kuat Masyarakat semikapitalis, militer sebagai kekuatan hankam sangat lemah; dan dalam masyarakat majemuk yang berbasis pada sentimen primordial.
Strategi Partisipasi militer Mobilisasi massa
Persiapan perang Perang terbatas untuk kepentingan keluar Perang semesta (total war) untuk kepentingan ke dalam
Proses Pembesaran kekuatan militer, ekspansi keluar Intervensi militer ke politik, indoktrinasi militer, reproduksi budaya perang atau besenjata pada level massa.
Tujuan perang Pertahanan integritas teritorial, imperialisme ke luar wilayah Perang melawan HGAT, kontrol negara pada masyarakat, mempertahankan kekuasaan.
Dampak Imperialisme merajalela, perang antarnegara, tetapi militer lebih profesional dan tidak mengganggu demokrasi Perang antarsaudara/antarkelompok dalam negara, kekerasan merajalela, mematikan pluralisme dan demokrasi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber: Vagts, 1959; Andreski, 1968; Marwick, 1977; Mann, 1984; Luckham, 1984; Ross, 1987; Shaw, 1993.
Secara historis, militerisasi tipe I terjadi di banyak negara di kawasan Eropa Barat dan Amerika. Kita bisa melihat industrialisasi militer di negara-negara itu untuk menopang pendalaman kapitalisme dan imperialisme di kawasan lain. Tetapi militerisasi dan militerisme tipe ini hanya terbatas pada elite, yang tidak melibatkan mobilisasi massa. Mann (1984) menyebutnya sebagai "spectator sport militarism", artinya perluasan kekuasaan militer dan perlombaan senjata antarnegara yang dirancang oleh elite menjadi "olahraga tontonan" massa. Massa tidak dimobilisasi dalam arena perang, melainkan hanya menjadi penonton perang, yang terkadang bangga jika militer berhasil memenangkan peperangan tetapi terkadang khawatir dan jengkel ketika kalah perang. Misalnya AS yang kalah perang melawan Vietnam.
Militerisasi tipe I memang punya dampak buruk keluar, tetapi punya dampak positif kedalam. Karena militer punya kesibukan perang keluar, maka mereka menjadi lebih profesional dan tidak melakukan intervensi ke dunia politik, sehingga tidak mengganggu demokrasi. Karya Charles Tilly (1985), misalnya, menunjukkan bahwa tumbuhnya demokrasi liberal di Barat secara historis berkaitan dengan industrialisasi peperangan dan pemeliharaan militer profesional dalam sebuah negara-bangsa modern.
Sebaliknya, militerisasi dan militerisme tipe II (build-in) jauh lebih kompleks dan berbahaya bagi demokrasi. Militerisasi dan militerisme tipe II ini benar-benar mengakar pada masyarakat sehingga disebut sebagai societal militarism. Prosesnya berlangsung lewat dua cara. Pertama, intervensi militer dalam politik yang mesti diikuti dengan indoktrinasi militer. Kedua, reproduksi nilai-nilai militeristik oleh elemen-elemen masyarakat sipil tanpa intervensi militer. Yang paling menonjol dalam militerisasi dan militerisme build-in tidak didasarkan pada perluasaan kekuatan militer, melainkan pada kedalaman pengaruh ideologi militer ke dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, militer yang memegang kekuasaan akan cenderung memanipulasi keadaan politik dalam situasi darurat, mencari justifikasi intervensi mereka dalam politik dan hak-hak istimewanya, menyingkirkan para pembangkang, menyerukan disiplin dan loyalitas massa, serta memobilisasi massa dalam "persiapan perang".
Militerisme masyarakat ini bisa tumbuh tanpa harus ada intervensi militer, melainkan bisa tumbuh dengan sendiri dalam ranah masyarakat sipil, terutama dalam masyarakat yang terkotak-kotak menurut garis primordial (agama, etnis, ras, golongan). Dalam masyarakat yang berbasis primordial cenderung memaknai daerah (wilayah) sebagai milik etnis atau agama tertentu, sehingga penghuni wilayah itu selalu mempunyai senjata khas dan selalu siap berperang berhadapan dengan pendatang dari etnis atau agama lain. Karena itu, Robin Luckham (1987), menyebut militerisme massa identik dengan budaya perang atau budaya bersenjata (armament culture). Budaya bersenjata, demikian tutur Luckham, lebih dari sekadar efek bersenjata terhadap budaya (musik, film, sastra, literatur, dan lain-lain), tetapi juga masuknya persenjataan ke dalam reproduksi budaya sehari-hari, dan sekaligus menjadi produk berbagai aktivitas budaya.
Pengalaman Indonesia
Pembicaraan militer dengan kerangka militerisasi build-up sama sekali tidak relevan dalam konteks Indonesia, sebab peningkatan personil militer beserta perlengkapan senjata tidak sebesar dan sepenting eksodus militer ke lembaga-lembaga nonmiliter. Persoalan militer di Indonesia lebih tepat dipahami dalam kerangka militerisasi dan militerisme tipe II (build-in). Militerisasi bisa dilihat dari penarapan Dwifungsi secara struktural maupun teritorial. Dwifungsi struktural bisa dilihat dari intervensi politik sampai dengan masuknya para perwira menduduki jabatan-jabatan sipil dan keterlibatan mereka dalam dunia bisnis. Dwifungsi teritorial tersusun secara sistematis dalam bentuk organisasi militer yang hirarkhis dari Mabes di Jakarta sampai Babinsa di desa.
Militerisasi dalam bentuk intervensi militer ke dunia sipil berdampak terhadap tumbuhnya militerisme. Pertama, kepemimpinan militer hampir dipastikan akan diikuti dengan penerapan nilai-nilai, kebiasaan dan organisasi militer dalam dunia sipil. Sekali seorang perwira menduduki jabatan gubernur atau presiden, pasti dia akan menerapkan cara-cara militer dalam metode kepemimpinan, cara pengorganisasian dan cara memperlakukan anak buah. Bahkan di desa yang kami teliti, Desa Tambakromo (Ponjong Gunungkidul), dalam jangka panjang terkungkung oleh kerangkeng militerisme ketika dipimpin oleh mantan polisi. Sang kepala desa konon selalu mengutamakan disiplin, loyalitas, budaya ketakutan dan bahkan sewenang-wenang kepada anak buahnya maupun warga masyarakat.
Kedua, indoktrinasi atau penyebaran doktrin tentara untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak warga masyarakat. Militer Indonesia yang mengklaim dirinya punya tugas suci sebagai pengawal Pancasila dan pembangunan selalu menekankan bahwa keberhasilan pembangunan harus ditopang dengan stabilitas nasional yang kokoh. Sebagai bentuk persiapan perang semesta, militer menerapkan doktrin Hankamrata, yang melibatkan seluruh elemen rakyat untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, Hankamrata bisa berhasil apabila ditopang oleh "kemanunggalan" ABRI dengan rakyat. Militer selalu menekankan pada rakyat bahwa Indonesia selalu berada dalam situasi darurat, misalnya dengan munculnya seruan Hambatan, Gangguan, Ancaman dan Tantangan (HGAT). Oleh karena itu, kata militer, rakyat Indonesia harus selalu waspada, disiplin, loyal dan patriotik.
Indoktrinasi memainkan peranan penting untuk memobilisasi massa dalam persiapan perang dan sekaligus sebagai senjata militer untuk mempertahankan dominasinya dalam kehidupan politik. Proyek indoktrinasi dilakukan secara kolosal dan serentak di sekolah-sekolah, tempat kerja, kantor birokrasi, ormas-ormas, dan lain-lain. Pendidikan Bela Negara, PPKN, P4, Pendidikan Kewiraan, dan sebagainya merupakan bentuk konkret indoktrinasi militer. Semuanya diarahkan untuk mendidik rakyat agar punya semangat patriot, nasionalisme, rela berkorban untuk negara, bangsa dan Pancasila. Dalam praktiknya bentuk-bentuk pendidikan itu memasukan wacana-wacana militer seperti Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Hankamrata, Ipoleksosbudhankamnas, dll.
Ketiga, pembentukan organisasi-organisasi yang serupa dengan militer sampai menerapkan kebiasaan militer pada aktivitas komunitas sipil. Resimen Mahasiswa (Menwa) adalah organisasi di sektor pendidikan yang kental dengan militerisme. Menwa dibentuk oleh militer, yang sekaligus mengadopsi nilai-nilai, etika, perilaku, organisasi dan wacana militer. Demikian juga dengan Pramuka. Awalnya Pramuka adalah gerakan kepanduan nonmiliteristik yang punya misi sosial. Tetapi ketika diintervensi militer, Pramuka menjadi sangat militeristik dari segi nilai yang dikembangkan sampai dengan organisasinya. Di tempat lain, berbagai tradisi militer dikembangkan di n bentuk organisasi militer, melainkan juga punya "otoritas" menggunakan sarana kekerasan. Mereka mesti memperoleh pendidikan dan latihan fisik seperti halnya militer. Perguruan Pagar Nusa di Jember misalnya, merupakan tempat penggemblengan fisik bagi para anggota Banser NU.
Dalam komunitas masyarakat, kita mengenal "ronda kampung" atau siskamling. Menurut Nasikun (2000), ronda kampung by definition bukan militerisme, karena ia merupakan sistem keamanan mandiri masyarakat lokal dan punya fungsi sosial yang penting. Tetapi by design, ronda kampung bisa dikategorikan sebagai militerisme, sebab ia memobilisasi massa untuk persiapan perang. Bahkan dengan sistem Hankamrata, militer melakukan intervensi terhadap ronda kampung dengan mengganti nama menjadi "siskamling". Parat Koramil dan Polsek sering memberi bekal pelatihan pada seski keamanan kampung, agar mereka punya kepiawaian menjaga keamanan kampung. Dalam praktiknya, massa yang terlibat dalam ronda kampung punya otoritas menggunakan sarana kekerasan untuk melawan orang-orang yang mengganggu kampung, seperti pencuri sampai tamu pria yang bermalam di rumah perempuan. Tidak jarang para petugas ronda kampung membunuh pencuri secara massal maupun "menangkap" tamu pria yang tidak izin ke Ketua RT setempat. Berdasarkan penelitian kami, kampung Terban (Kota Yogyakarta) termasuk yang paling ganas dalam hal ronda kampung. Di kampung ini, beberapa kali terjadi pembunuhan massal secara kejam terhadap pencuri, dan apabila Anda ngapel ke asrama puteri akan segera diingatkan oleh petugas keamanan bila jam 21.00 WIB tidak segera pergi. Berdasarkan penelitian kami, warga di lima desa penelitian umumnya menerima praktik-praktik militerisme sebagai sebuah kewajaran. Soal Satgas dan Banser misalnya, diterima dan dipahami sebagai perwujudan ksatria yang gagah berani serta membantu masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan sosial. Tampaknya, masyarakat di Terban, Janten (Kolonprogo), Wukirsari (Bantul), Tambakromo (GK), dan Sumberagung (Sleman), memang betul prinsip "desa mawa cara, negara mawa tata" serta menempatkan ronda kampung sebagai perangkat untuk menjawa "wibawa desa" di hadapan desa lainnya. Tetapi masyarakat belum mempunyai kesadaran kritis akan budaya kekerasan yang melekat dalam tradisi militerisme, entah dalam Satgas, Banser sampai ronda kampung yang tidak segan-segan membunuh pencuri secara sadis.
Agenda Demiliterisme
Demiliterisasi bisa disebut sebagai upaya mengakhiri intervensi politik militer hingga meminggirkan militer ke baraknya. Di Indonesia, agenda penting demiliterisasi adalah pencubatan Dwifungsi, untuk mengakhiri intervensi militer ke dunia sosial-ekonomi-politik serta membubarkan struktur teritorial tentara. Namun pencabutan Dwifungsi belum memadai untuk kepentingan demiliterisme. Demiliterisme tentu saja jauh lebih kompleks ketimbang demiliterisasi (pencabutan Dwifungsi), karena harus mengikis nilai-nilai, perilaku, serta organisasi yang tumbuh dalam masyarakat sipil.
Dalam konteks ini, banyak agenda penting demiliterisme yang bisa dilakukan, terutama pendidikan politik antimiliterisme atau pendidikan demokrasi sebagai tandingan atas militerisme. Pendidikan politik antara lain bisa diawali dengan diseminasi isu militerisme. Diseminasi pengetahuan militerisme bukan bermaksud memperkuat praktik-praktik ala tentara, tetapi bertujuan menunjukkan bahaya dan akibat buruk praktik militerisme. Harapannya, pengenalan isu militerisme melalui segi-segi negatifnya terhadap proses demokratisasi akan memberi dua manfaat. Pertama, memperluas dan memperkuat perhatian, pengetahuan dan pemahaman publik tentang militerisme. Kedua, menggelar wacana tandingan terhadap pelaku-pelaku yang masih saja memanfaatkan militerisme dan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingan atau menyelesaikan konflik sosial. Tepatnya, diseminasi pengetahuan tentang militerisme menampilkan dirinya dalam wujud kampanye antimiliterisme. Kampanye antimiliterisme bisa dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari bentuk yang formal seperti pelatihan, workshop, tulisan ilmiah, sampai selebaran, atau lomba melukis antimiliterisme. Kampanye bisa menggunakan media sekolah, pesantren, organisasi sosial, arisan kampung, media massa dan lain-lain.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...